Gamelan IV




LARAS

             Laras memiliki arti kata lurus, serasi atau kesesuaian. Kalau terkait suara,  menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata ‘laras’ berarti  tinggi rendahnya nada  ( suara, bunyi musik dan sebagainya ). Maka sesuai dengan arti kata ini dalam dunia karawitan laras diartikan sebagai; (1) urutan nada dalam jangkauan gembyang (oktaf) yang memiliki jarak nada tertentu  (Soeroso, 1985, ISI Yk), (2) Laras adalah rangkaian nada yang tertentu jumlah dan tingginya (sruti) didalam satu gembyangan. Atau urutan nada dalam satu gembyangan yang tertentu srutinya (Ki Sindoesawarno, 1954:1, Ilmu Karawitan), (3) Laras adalah urut-urutan suara mulai yang paling rendah sampai tertinggi, yang tetap serta teratur swarantaranya (interval), menurut Wasisto Surjodiningrat, dkk. Dalam buku Gamelan dan Komputer, 1977 : 5-6 .
            Sistem nada di dunia dikenal ada dua macam, yaitu system nada DIATONIS  dan system nada PENTATONIS. Sistem nada diatonis yaitu tangga nada yang umum dipakai dalam dunia music dewasa ini dengan 7 nada dalam satu oktafnya ( do re mi fa sol la si ). Sedangkan system nada pentatonis dikenal ada dua laras (tangga nada), yaitu laras slendro dan laras pelog, yaitu terdapat 5 nada dalam satu oktafnya (gembyang). Ini sesuai dengan arti katanya, PENTA= lima dan TONIS / TONE= nada.

Tangga Nada Diatonis
            Tangga Nada Diatonis adalah tangga nada yang mempunyai dua jarak tangga Nada yaitu satu dan setengah. Contoh yang menggunakan tangga nada diatonis adalah organ dan piano. Tangga  nada diatonis terbagi menjadi 2 (dua) macam. Diatonis Mayor dan Diatonis Minor.
1.      Tangga nada diatonis mayor:  C----D----E—F----G----A----B--C
                                                      1     1    ½     1      1      1    ½

2.      Tangga nada diatonic minor:   A----B----C—D----E----F----G--A
                                                      1      1    ½     1      1      1   ½

Tangga Nada Pentatonis
            Tangga nada pentatonis adalah Jenis tangga nada yang hanya memakai lima nada pokok. Ragam tangga nada pentatonis ini dibedakan oleh jarak antar nada serta pilihan nada yang didengar. Berdasarkan nadanya ada istilah PELOG dan SLENDRO. Contoh musik yang menggunakan tangga nada pentatonis adalah musik gamelan dan musik blues.

1.      Tangga nada pelog :  bes----d’----qd’----f’----@’----bes’  
                                           2      ½        1     2        ½
                                    1------3------4-----5------7------1’

2.      Tangga nada slendro:  bes----C’----D’----F’----G’----bes’
                                             1       1      1 ½     1      1 ½      
                                       1------2------3-----5-----6-----1’
Dalam Gamelan Jawa:


Dalam Gamelan Sunda (Jawa Barat) dan Nada Diatonis:
(ciptaan R.M.A. Koesoemadinata, th 1923 di Bandung)

Patet daminatila, adalah kependekan dari kata Ada-2 Minangka Pranataning Laras yang ditulis dalam serat Kanajagan (1917 : 3), artinya ada 2 patetan gunanya untuk mengatur merasakan laras dan patet.
 
Laras Pelog dan Laras Slendro Dalam Gamelan
               Laras slendro dalam satu gembyangnya (oktaf) terdapat 5 nada yang masing-masing nadanya berjarak hampir sama (240 cents). Jadi dalam laras slendro satu gembyangnya terdapat 1200 cents (240 cents x 5), kl ditulis jarak nadanya menjadi:  1__2__3__5__6__i  ( 1=lr panunggul, 2=lr gulu/jangga, 3=lr dada, 5=lr lima, 6= lr nem)
 
             Laras pelog dalam sejarah perkembangannya juga diawali dari jumlah nada lima buah setiap oktafnya, hal ini bisa diketahui dari data sejarah nada gender pelog Th 1164 M (1086 th Jawa; Anglaras Salira Barakaning Dewa) pada jaman Prabu Jayalengkara di Purwacarita  yang menciptakan gender pelog berbilah sepuluh dengan nada : 1—2—3—5—6—1’—2’—3’—5’—6’ dan baru kemudian pada th 1209 laras pelog  ditambahkan nada 4 (pelog), dan    7 (barang) oleh Dewi Ragil Kuning Retnojinoli dari Jenggala yg didukung oleh Raden Panji dan kerabatnya sehingga susunan nadanya seperti berikut:
            
Th1164M
1
2
3
5
6
1’
2’
3’
5’
6’




Th1209M
1
2
3
4
5
6
7
1’
‘2
3’
4’
5’
6’
7’

Laras pelog dalam satu gembyang (oktaf) yang pada awalnya terdapat 9 nada, sehingga masing-masing jaraknya adalah 1200 ct : 9 = 133 1/3 ct. Kalau dituliskan susunan nadanya menjadi:
1__2__3__x__4__5__6__7__y__1’
Tetapi karena jumlah nada dalam setiap ricikan gamelan hanya terdapat  tujuh setiap gembyangnya maka terdapat jarak yang lebih panjang dari jarak rata-rata setiap nadanya:
1__2__3____4__5__6__7____i  (1= lr bem/penunggul, 2= lr gulu/jangga, 3= lr dada, 4= lr pelog, 5= lr lima, 6= lr nem, 7= lr barang )
 
Sehingga kalau rata-rata berjarak nada 133 1/3 ct, maka ada yang lebih panjang mjd  266 2/3 ct.
Panjang pendeknya jarak ini dimungkinkan dibuat didasari oleh penyesuaian dalam  mencapai rasa keindahan yang diharapkan si pembuat. Contoh penyesuaian ini terlihat dari garepan patet dlm laras pelog yang hanya memiliki 5 nada:
Gamelan Jawa:
 
      
          Jarak nada (interval) dalam frekwensi  menurut  buku  Wasisto Surjodiningrat, dkk yang berjudul ‘Penjelidikan Dalam Pengukuran Nada Gamelan-Gamelan Djawa Terkemuka di Jogjakarta dan Surakarta’ membuktikan betapa dinamisnya larasan gamelan yang terjadi karena factor penyesuaian selera pembuat atau pelarasnya.
Tabel Data Penelitian Nada Gamelan Slendro :
No
No
NAMA
6
  A
1
  B
2
  C
3
  D
5
  E
6
  F
7
Oktaf

gml
GAMELAN
nem

br

gl

dd

lm

nm

br
cents
1
Sl-21
Lokananta-(kraton Solo)
257

244
296

240
340

259
395

230
451

249
521

259
605

1237
2
Sl-20
Manisrengga-(kraton Solo)
244

244
281

236
322

250
372

246
429

240
493

255
572

1227
3
Sl-22
Swarahardja-(kraton Solo)
253

254
293

226
334

255
387

214
438

257
508

244
585

1196
4
Sl-14
Kanjutmesem-(M.N. Sala)
248

259
288

251
333

238
382

241
439

236
503

252
582

1218
5
Sl-15
Lipurtambaning-(M.N. Sala)
242

246
279

216
316

254
366

234
419

251
484

246
558

1200
6
Sl-27
Konservatori
Kar. Gam. I


278

229
317

225
361

254
418

236
479

256
556

1200
7
Sl-I
Surak (Kraton Jogja)


273

226
312

239
357

248
412

250
476

255
552

1218
8
Sl-5
Madumurti (Kraton Jogja)


268

224
305

233
349

258
405

243
466

258
541

1216
9
Sl-7
Tunggul (P.A. Jogja)


265

238
304

249
351

244
404

228
461

264
537

1223
10
Sl-11
GPH.Tedjakusuma Jogja


274

235
314

228
358

260
416

234
476

267
556

1224
11
Sl-9
Landung GAMA


274

219
311

248
359

247
414

242
476

275
558

1231
Gamelan laras slendro rata-rata;  273_a_312_b_359_c_413_d_474_e_550  dan masing-masing  intervalnya ; a  = 231ct, b = 243 ct, c = 243 ct, d = 238 ct, e = 253 ct  sehingga jumlah  intervalnya adalah 1208 cents.

Tabel Data Penelitian Nada Gamelan Pelog :
NAMA
1
a
2
b
3
c
4
d
5
e
6
f
7
g
1’
oktaf
GAMELAN
bem

gl

dd

pl

lm

nem

brg

Bem
cents
Semarngigel (kraton Sala)
287

122
308

129
332

301
395

106
420

116
449

187
500

256
580

1218
Kadukmanis (kraton Sala)
292

143
317

111
338

316
406

100
430

132
464

174
513

256
595

1232
Hardjaswara (kraton Sala)
297

135
321

155
351

281
413

113
441

103
468

196
524

219
594

1200
Kanjutmesem (M.N. Sala)
295

141
320

140
347

272
406

139
440

114
470

172
519

245
598

1223
Lipurtambaneng (M.N. Sala)
281

113
300

146
327

430
 ----

-----
419

100
444

-----
-----

-----
567

1214
Konservatori Kar. Gam. I
306

121
328

147
357

272
418

128
450

115
481

194
538

240
618

1218
Kantjilbelik (kraton Jogja)
295

125
317

131
342

267
399

145
434

120
465

149
507

272
593

1209
Madukusuma (kraton Jogja)
276

121
296

129
319

302
380

136
411

106
437

141
474

280
557

1215
GPH. Tedjakusuma Jogja
286

117
306

141
332

284
391

132
422

88
444

164
488

268
570

1194
Landung GAMA
293

103
311

144
338

278
397

150
433

112
462

161
507

281
596

1229
Sedangkan dalam gamelan laras pelog terdapat rata-rata; 279_a_299_b_324_c_381_d_412_e_439_f_481_g_560  dan masing-masing intervalnya;  a= 120 ct, b=138 ct, c=281 ct, d=136 ct, e=110 ct, f=158 ct, g=263 ct  sehingga jumlah  interval dalam satu oktafnya adalah 1206 cents.

SEJARAH  LARAS

Kempyung Tiup
            Asal mula laras nada dibentuk dari suara nada seruling. Menurut dongeng yang beredar di masyarakat Cina (Tionghwa) pada jaman kerajaan Huang-Ti (250 SM), berawal dari sang Raja yang memerintahkan Ling-Lun seorang niyaga hebat (pemain music) membuat laras nada abadi. Ling-Lung mendapatkan inspirasi dari kicauan burung rangkok yang merdu mendayu, yang membuatnya sangat kagum dan terharu, untuk membuat suara tiruannya. Dari usahanya itu sang niyaga itu berhasil membuat sebuah seruling yang dibuatnya dari buluh bambu. Suara seruling yang mampu menyerupai kicauan burung rangkok itu kemudian dipakai sebagai acuan membentuk standar nada atau laras nada yang diberi nama ‘Huang-Tjong’.
          Laras Huang-Tjong terbentuk dari kempyung-kempyung yang berurutan, dan dibagi dua berdasarkan urutan ganjil dan genap. Urutan kempyung ganjil disebut YANG (jantan) dan yang genap disebut YIN (betina). Laras Huang-Tjong ini berkembang menjadi induk segala nada dalam seni suara di dunia, maka dengan demikian tercapailah keinginan sang raja dr kerajaan Huang-Ti tersebut.
 
Kempyung Kawat Se Ma Tsien
            Dalam perkembangan etnomusikologi Cina yang baru, teori kempyung tiup yg didasari dari seruling kurang diminati lagi karena kurang praktis dan sistematis. Dan berkembang teori lain dari kempyung kawat oleh Se Ma Tsien dari jaman kerajaan Tang ( 620 M) yang lebih praktis dan mudah. Hitungan-hitungan dari kempyung kawat Se Ma Tsien ini secara tidak sengaja juga sama yang dibuat oleh Pujangga Yunani Phythagoras (530 M). Kedua hitungan-hitungan mereka itu berdasarkan pada kecerdasan akal pikir atau perhitungan logika bukan dari kodrat alam seperti dasar dari kempyung tiup.
Kempyung Kawat dibagi dua menjadi Kempyung Atas dan Kempyung Bawah; Kempyung Atas terbentuk dari kawat tegang yang diperpendek menjadi 2/3nya. Sedangkan Kempyung Bawah terbentuk dari kawat tegang yang diperpanjang menjadi 4/3nya.
Se Ma Tsien memulai dari kawat tegang diperpendek 2/3 menjadi kempyung pertama, kemudian yang kedua diperpanjang menjadi 4/3 menjadi kwart bawahnya.  Yang ketiga diperpendek lagi 2/3, yang keempat diperpanjang 4/3, dan seterusnya hingga 12 kali.

Dari Laras Huang-Tjong menjadi Laras Pelog
        Dari sebuah penelitian  yang dilakukan oleh seorang ahli budaya dan music Tiongkok  berkebangsaan Jerman, Prof.Dr.E.M. von Hornbostel (1934) tentang laras Huang-Tjong didapatkan bahwa jumlah nada dari laras tersebut adalah 366Hz. Sedangkan kempyung dari hasil tiupan sulingnya dinamakan kempyung tiup, tercatat 678 cents. Dari kempyung-kempyung tiup nomor ganjil kemudian dirangkum dalam satu gembyang (oktaf), maka terbentuk suatu laras yang dinamakan laras pelog asli  (1919). Dari nada-nada itu dapat mengisar (toleransi) sampai 15 cents, hingga dapat menutup kekurangan nada terakhir menjadi nada satu gembyang yang tepat 1200 cents.
            0     156     312     468     624     780     936     1092   dlm cents
Laras pelog asli dengan pengisaran (toleransi) ini berkembang di wilayah Birma, Siam, Malaysia, Indonesia, Madagaskar, Kep.Samudera Teduh, Melanesia, Polinesia, Brazilia Barat Daya dan Peru Lima.
             Di Jawa dan Bali, laras pelog Hornbostel (pelog asli) ini sudah tidak ada, tetapi telah diaplikasikan oleh Konservatori Karawitan Indonesia Surakarta ke dalam alat music harmonica ( Agustus 1952), yg identik dengan laras Cina (Huang-Tjong).

Perkembangan Laras Pelog dan Terbentuknya Laras Slendro di Indonesia
              Di Indonesia teori Hornbostel  dikembangkan dengan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh sarjana etnomusikologi Belanda, Jaap Kunst. Penelitian dilakukan ke sebagian besar jenis gamelan di nusantara Indonesia, terutama Jawa, Bali dan Madura dengan lebih kurang 180 embat. Dengan data-data dan hitungan yang meluas Jaap Kunst telah dapat membuktikan kebenaran teori Hornbostel (1934). Dan menyimpulkan bahwa normalisasi laras pelog Jawa dan Bali itu bersruti (interval) sebagai berikut :
        0     156     415     535     685     955     1085     1200 cents
Dari laras pelog ini kemudian oleh Konservatori Karawitan Indonesia dibuat susunan laras pelog yang lebih praktis digunakan dan lebih sistematis, menjadi :
        0     120     360     630     770     890     1030     1200 cents

Laras Slendro Hornbostel-Kunst
              Sedangkan terbentuknya laras slendro dengan diambil nada-nada Umschicht, yang didapatkan suatu kwart bersruti (interval) 468 cents ( kwart murni 498 dan kwart toleransi 500 ). Kwart 468 dibagi 2 menjadi 234 cents. Dari interval (sruti) 234 ct ini kemudian diteruskan hingga 5 kali, sehingga terbentuk menjadi  laras slendro berikut :  0_a_234_b_468_c_702_d_936_e_1170_f_1200 (abcde=234cent, f=30ct)
Kekurangan yang 30 cents dibagi rata untuk kisaran (toleransi) nada-nada dengan maksimum 6 cents.
Dari laras slendro ini kemudian dibentuk laras slendro yang lebih praktis digunakan dan lebih sistematis oleh Konservatori Karawitan Indonesia Surakarta menjadi :
        0     230     460     715     945     1200
Kesimpulan: Berdasar teori Honrbostel bahwa slendro itu terjadinya dari Umschichtleiter yang berlaras pelog.

Penerapan Prinsip Larasan Dalam Gamelan Wilahan Dan Pencon
         Pelarasan pada alat music tiup atau dawai (kawat) lebih sederhana dan mudah dibandingkan pelarasan pada gamelan wilahan dan pencon. Pelarasan gamelan terdapat banyak kendala yang berasal dari teknisnya (factor manusiannya) dan yang berasal dari sifat material logamnya. Dari segi teknisnya dalam proses pelarasan ini banyak dibutuhkan peralatan penunjangnya selain pengetahuan dan keahlian, juga terkait erat dengan kepekaan pendengaran si pelaras. Dan dari segi material logam tentu juga akan berbeda-beda sifat atau karakternya gamelan yang dibuat dari besi baja, kuningan, singen dan perunggu. Juga pengaruh ketepatan paduan unsure logam sangat besar pengaruhnya terhadap kualitas dan kestabilan larasan gamelan yang terbuat dari perunggu, singen dan kuningan. Maka dalam pelarasan gamelan logam ini  lebih sulit mencapai ketepatan atau presisinya, toleransinya bisa mencapai 25 cents.

Teori Hardjosubroto
             Berdasarkan dari sifat atau karakter logam paduan perunggu yang terbentuk oleh karena kelemahan teknis proses pembuatannya, maka terjadi kemungkinan bahwa kempyung yang bagaimanapun murninya  (702 cents) yang terbentuk pada pelarasan gamelan wilahan dan pencon pada awalnya, lama kelamaan akan berubah naik atau turun hingga maksimum 25 cents. Dengan kempyung tiga macam (675, 700 dan 720) disusun laras dengan model Hornbostel, yaitu mengembalikan deretan kempyung 6 buah ke dalam satu gembyangan, maka akan terbentuk 3 laras yg memiliki sruti-sruti atau interval-interval sebagai berikut:
 
Keterangan gambar:  Bila kempyungnya bertambah besar, lima sruti yang mulanya kecil ( 150 )dalam pelog itu akan bertambah besar, dan dua sruti yang mula-mula besar (225) dalam pelog itu akan mengecil hingga habis sama sekali dalam Slendro. Jadi kesimpulannya :
1.      Laras Pelog, laras slendro dan laras diatonic terbentuknya dengan jalan yang sama, yaitu deretan kempyung diringkas kedalam satu gembyangan.
2.      Pengisaran pelog ke dalam slendro melewati nada-nada diatonic itu karena bertambahnya kempyungan.
3.      Tambah atau berkurangnya kempyung terjadi oleh adanya embat, baik yang terbentuk di daerah pelog (atas) dan di daerah slendro ( bawah).
4.      Slendro yang tidak sama rata yaitu slendro yang kempyungnya kurang dari 720 cents, dan melepaskan dua nada yaitu nada pertama (Pl) dan nada ketujuh (Br).
5.      Timbulnya embat yang disengaja dalam Pelog dan slendro disebabkan oleh kebebasan membentuk rasa indah si pelaras.
6.      Timbulnya pengisaran-pengisaran kecil yang terjadi disebabkan oleh factor teknis dan non teknis dalam proses pembuatan yang kurang memadai ( keterbatasan pengetahuan dan teknologi).
7.      Induk nada laras Huang-Tjong dengan frekuensi tertentu tidak ada. Laras-laras itu terbentuk dari frekuensi pangkal yang paling enak dirasakan oleh pelaras, dari sifat karawitan dimana lokasi berada.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GAMELAN JAWA III

GAMELAN JAWA III (lanjutan)