Gamelan Jawa I
PENDAHULUAN
Gamelan berasal dari kata dasar GAMEL
yang berarti PUKUL. Maka dari arti kata dasar ini Gamelan atau tabuhan dapat
diartikan sebagai kelompok instrument
music atau ricikan yang cara penghasilan suaranya dengan dipukul atau
ditabuh sehingga benda yang dipukul tersebut menghasilkan bunyi. Dari cara penggunaannya ini maka gamelan dimasukan dalam kelompok alat music idhiophon percusion. Adapun gamelan yg
ditabuh ini, baik jenis pencon dan wilahan, bahan pembuatnya berasal dari logam ( perunggu, Singen, kuningan dan besi ).
Di dalam gamelan lengkap ada beberapa instrument
music lain yang cara kerjanya tidak
dipukul atau bukan termasuk jenis perkusi idhiophon, yaitu dengan cara ditiup,
digesek dan dipetik dan
bahan- bahan pembuatnya juga tidak dari bahan logam tetapi dari bambu,
kayu, kulit atau lulang binatang dan senar/ kawat ( dawai). Maka dalam satu
perangkat gemelan lengkap dapat dikelompokan sesuai dengan sumber bunyinya
menjadi sebagai berikut:
1. Idiophone
Jenis
pertama adalah kelompok idiophone, yaitu jenis gamelan yang menggunakan
getaran pada badan alat musik itu sendiri sebagai sumber bunyi. Ada pun cara
penggunaannya dengan dipukul menggunakan alat tabuh.
Jenis gamelan yang termasuk
dalam kelompok ini adalah:
-
Gender Barung = 14
bilah
-
Gender Penerus = 14 bilah
-
Bonang Barung = 10
pencon
-
Bonang Penerus = 10 pencon
-
Slenthem
= 7 bilah
-
Demung
= 7 bilah
-
Saron Barung =
6 bilah
-
Saron Penerus = 6 bilah
-
Kethuk
= 1 pencon
-
Kempyang
= 2 pencon
-
Kenong
= 5 pencon
-
Kenong Japan = 1 pencon
-
Kempul
= 5 pencon
-
Gong Suwuk
= 3 pencon
-
Gong Besar = 1 pencon
-
Engkuk-Kemong = 2 pencon
-
Kecer
= 4 keping
-
Kepyak = 3 keping
-
Gambang
= 2 rancak ( bahan kayu ulin )
2. Membranophone
Jenis selanjutnya adalah membranophone.
Yaitu kelompok gamelan yang sumber bunyinya berupa membran. Alat musik jenis
ini menggunakan lapisan tipis yang dibentangkan secara kuat di salah satu
sisinya.
Membran ini kemudian digetarkan
untuk menghasilkan bunyi, umumnya dengan cara dipukul. Contoh alat musik jenis ini adalah
drum, kendang, dan bedhug.
3.
Chordophone
Jenis yang berikutnya disebut chordophone.
Yaitu jenis gamelan yang memiliki sumber bunyi berupa dawai.
Gamelan jenis ini menggunakan dawai yang dibentangkan
secara kuat antara dua titik tertentu. Dawai tersebut kemudian digetarkan untuk
menghasilkan suara dengan cara dipetik dengan jari atau digesek dengan senar.
Umumnya, gamelan jenis ini memiliki rongga resonansi di bawah
dawai-dawainya. Rongga ini berguna untuk memperkuat bunyi yang dihasilkannya.
Contoh jenis gamelan ini adalah: Rebab
dan kecapi ( clempung dan siter ).
4.
Aerophone
Aerophone adalah jenis alat musik lainnya yang menggunakan sumber
bunyi berupa udara. Alat musik ini memiliki bagian rongga berupa tabung.
Getaran udara di dalam rongga atau
tabung inilah yang menimbulkan bunyi. Alat musik jenis ini biasa dimainkan
dengan cara ditiup. Contoh alat musik aerophone dalam kelompok gamelan ini
adalah: Suling dan Terompet
v
Dalam penulisan ini, gamelan yang kami maksudkan hanya sebatas kelompok
gamelan idhiophon yang terbuat dari bahan logam perunggu saja.
Gamelan termasuk dalam kebudayaan
Jawa, yang dalam proses dari pembuatan,
pemakaian dan penggunaannya terus berkembang dalam mencapai kesempurnaan
manfaat ataupun wujudnya. Di Jawa gamelan biasa digunakan untuk music
mengiringi wayang kulit, sendratari, upacara perkawinan, peresmian, tembang,
dll. Seiring demgan perkembangan jaman, dengan semakin cepatnya komunikasi dan
informasi antar bangsa juga perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat
lain maka gamelan pun ikut berkembang meluas ke daerah atau pun Negara lain.
Dan bahkan kini sudah banyak komunitas-komunitas pencinta atau penggemar
gamelan di berbagai daerah luar Jawa dan luar negeri yg aktif mendalami dan
mengembangkan music gamelan ini juga dalam hal penggunaannya. Menurut Jaap
Kunst seorang ilmuwan etnomusikologi Belanda menyatakan kalau irama yg
dihasilkan oleh gamelan itu memiliki daya supranatural atau magis. Hal ini
dikarenakan dinamika irama atau melodi gamelan itu begitu dinamis, mengalir dan
lembut seperti cahaya rembulan yang sangat khas dan tidak dimiliki oleh alat
music lain. Kekhasan dari daya ini bahkan bisa mempengaruhi jiwa atau
psikologis pendengar yg membawa pada rasa tenang dan damai atau merefreshing
psikis. Maka tidak heran kalau ada yang menggunakan gamelan sebagai alat terapi
kejiwaan.
Gamelan juga termasuk jenis alat
music orchestra, karena gamelan ini tidak semuanya dapat digunakan secara independen atau
sendiri-sendiri. Musik gamelan akan terdengar nikmat sempurna karena
terbentuknya perpaduan antar seluruh gamelan yang digunakan secara lengkap
bersamaan sebagai music orchestra. Sehingga gamelan menuntut adanya sebuah
komunitas atau kelompok penabuh yang disebut pengrawit.
Pengrawit adalah sebagai kelompok orang yang
melakukan perbuatan atau pekerjaan atau profesi karya seni, termasuk didalamnya
karya music gendhing gamelan. Pengrawit berasal dari kata KARAWITAN, yang
memiliki kata dasar RAWIT. Rawit sendiri memiliki arti harafiah cabe yang kecil tetapi pedas (cabai
rawit) atau arti simbolik dari ‘padat berisi’ ( mentes dlm bahasa Jawa )dan
halus yang kemudian menjadi kata kerja merawit yaitu memproduksi karya seni yg
memiliki sifat rumit tetapi halus dan indah (S. Prawiroatmojo, 1980 :
134). Namun dalam perkembangannya
karawitan cenderung dimaknai sebagai
segala music tradisional Indonesia yang berlaras Slendro dan Pelog yang dalam
garapan tabuhannya telah menggunakan notasi (bukan notasi balok atau
solminasi), warna suara, ritma, patet, keselarasan (harmoni), memiliki sifat,
memiliki fungsi, memiliki aturan garap tabuhan yang metodis dan sistematis.
Dalam hal ini yang termasuk di dalamnya seperti halnya music gamelan Jawa,
Sunda, Bali, Banyumas, Banjar, dll.
Perkembangan Gamelan dan
Problematiknya
Gamelan sebagai alat music orchestra, yang mana masing-masing ricikannya saling
melengkapi dalam paduan orkestrasi maka masing-masing ricikan kurang bagus
digunakan secara independen. Sehingga idealnya gamelan menuntut kelengkapannya,
hal ini menjadi factor yang berat secara financial bagi sebagian besar masyarakat
untuk dipenuhi, karena mahal. Demikian juga dengan bahan pembuat yg berasal
dari logam dengan ukuran volume besar dan bobot yg berat membuat gamelan
menjadi kurang praktis karena tidak mudah dipindah-pindahkan dan
membutuhkan tempat yang luas. Hal ini menjadikan hanya kalangan masyarakat
tertentu saja yang mampu memiliki gamelan dalam jumlah lengkap.
Selain hambatan-hambatan di atas
gamelan juga mendapat hambatan atau kesulitan dalam stabilitas
larasan yang diakibatkan oleh factor
internal ( sifat dua jenis logam nonferro tembaga dan timah sebagai bahan
baku Perunggu yg sulit bercampur dg baik, ditambah factor kemurnian unsure logam dan teknis
peleburan sangat mempengaruhi tingkat kohesivitas, kekerasan dan
solidivitas perunggu yang dihasilkan) dan factor
eksternal logam( kondisi lingkungan dan udara ataupun oleh pengaruh pada
proses pembuatan yg belum sempurna juga cara penggunaan dan perawatannya).
Semua ini sangat dimungkinkan terjadi oleh karena tehnologi pembuatan dan proses pengerjaan lanjutan hingga
finishingnya masih dilakukan dengan teknologi sederhana atau pun karena belum
dilengkapi pengetahuan dan teknologi terkait ( metalurgi, fisika bunyi dan
tehnologi molding). Hingga saat Riset Gamelan cetak 2017 dimulai, gamelan logam
masih diproduksi dengan cara cetak tuang (cire perdue) dengan kowi
pada cetakan dari tanah liat atau pasir
untuk pembuatan bahan lakaran perunggu berbentuk balokan
(untuk wilahan) dan bulatan ( untuk pencon) sebagai bahan material dasar tempa (berbeda halnya dengan material singen, bentuk cetakan langsung jadi,
sehingga dibutuhkan banyak cetakan yg sesuai bentuk dan ukuran masing-masing
gamelannya, karena singen tanpa proses tempa). Kemudian proses tempa perunggu
lakaran ini dilakukan dalam kondisi panas (annealing)
untuk mendapatkan bentuk dasar / bakalan atau gadhangan gamelan. Dan hingga proses finishingnya, yaitu nguni – uni yang dilakukan dengan
proses tempa temperature dingin (cold
hammering), dan mengesrik atau
mengikis untuk mencapai nada yang diharapkan, kemudian polesing untuk mendapatkan permukaan atau tampilan yang bersih
berkilat, semua proses ini dilakukan secara manual.
Proses tempa ini juga butuh waktu dan tenaga yang banyak dan
kekuatan fisik besar. Untuk penempaan ukuran kecil ( jenis gender, bonang, demung
dan saron) dibutuhkan seorang panji
sepuh dan dua orang panji bantu.
Sedangkan untuk penempaan gong besar dibutuhkan seorang panji sepuh dengan 10
panji bantu. Dalam proses tempa ini yang menjadi kesulitan utamanya adalah
dalam memperkirakan batas temperature tempa (egean mealt) tanpa alat tester temperature ( hanya pengamatan visual) yang mengakibatkan
temperatur material bisa melebihi atau kurang dari temperatur standar tempa.
Karena bila melebihi batas temperature standar maka material terlalu lunak yg
membuat bahan mudah berlobang atau berceruk dan bila kurang dari standar tempa
maka bahan akan mudah retak dan pecah. Selain itu hasil dari tempa manual ini
membuat perbedaan tingkat kerataan atau ketebalan dan perbedaan kepadatan pada
setiap luasan area permukaan gamelan atau sulit
mencapai ukuran standar dalam
setiap pembuatan.
Jadi kekurangan-kekurangan tehnik
dan tehnologi yang diterapkan dalam proses pembuatan hingga cara perawatan dan
cara mengatasi sifat bahan baku yang kurang sempurna ini akan berpengaruh buruk pada kualitas
suara atau stabilitas larasan maupun ketahanan terhadap pukulan dan keawetan
gamelan.
Komentar
Posting Komentar